Minggu, 25 Mei 2008

Menulis sebagai Ibadah Unggulan

Menulis Sebagai Ibadah Unggulan

Seorang hamba di hadapan Sang Pencipta harus memiliki hubungan khusus. Ibadah harian yang dilakukan seperti sholat lima waktu ..... rasanya masih kurang. Biar mendapat perhatian khusus dari Sang Pencipta tentunya masing-masing hamba harus memiliki ibadah unggulan.

Ada yang lewat sholat malam, ada pula yang melakukan puasa Senin-Kamis. Itulah yang dinamakan ibadah-ibadah unggulan. Semua harus ingat bahwa ibadah puasa tersebut merupakan hubungan antara pribadi langsung dengan Allah Sang Pencipta. Tidak ada orang lain yang tahu, begitu juga dengan pahalanya, (mungkin) hanya dinikmati oleh yang melakukan puasa tersebut.

Tapi, ada ibadah yang bisa dinikmati oleh pribadi yang melakukan dan juga oleh orang lain. Nama ibadah tersebut adalah menulis. Menulis di sini tidak sekedar menulis berita yang dilakukan oleh rekan-rekan wartawan. Tapi, menulis yang bisa dibaca - disimpan - disimpan (untuk dibaca lagi) dengan waktu yang tidak terbatas. Biasanya, tulisan seperti itu adalah yang terkodifikasi dalam bentuk buku.

Tentu saja, isi dari buku tersebut adalah sesuatu yang menarik-brilian- dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Untuk itu, lewat tulisan di blog ini saya ingin mengajak semua rekan-rekan penulis untuk berkaya. Jadikan menulis sebagai ibadah unggulan. Isi tulisan yang baik, nantinya akan membawa berkah bagi diri, keluarga dan semuanya.

Sebenarnya, tulisan ini saya buat untuk menyemangati diri saya sendiri. Karena, sampai saat ini saya belum pernah menulis buku secara sendiri. Padahal, dunia tulis menulis sudah saya lakukan sejak belasan tahun lalu. Yakni saat menjadi pengurus (redaksi) Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang saat itu namanya 'Manifest', kemudian menjadi Pemimpin Redaksi (Pimred) Mimbar Mahasiswa (koran kampus Unibraw Malang). Setelah lulus, mejadi wartawan suara Indonesia (koran ekonomi grup Jawa Pos-sekarang namanya berubah Jadi Radar Surabaya), dan bergabung ke Radar Bogor sejak koran tersebut berdiri tahun 1988 sampai sekarang (tahun 2008). Di harian Radar Bogor (Grup Jawa Pos) tersebut pernah menjadi wartawan, redaktur, hingga jadi Redaktur Pelaksana (Redpel). Kini, kalau di bok redaksi nama saya masih menjadi Redaktur Senior, bahkan di Radar Bandung pun nama saya juga terpasang menjadi Redaktur Senior.

Jadi, kalau untuk urusan berita harian, saya sudah terbiasa. Tapi, kalau untuk menulis buku ... saya masih harus belajar. Beberapa tulisan dari Bung Jonru dan rekan-rekan di milis penulis lepas sangat membantu, begitu juga dengan tulisan-tulisan dari Bung Toha (Abu Al Ghifari) lewat situs penulis suksesnya juga sangat membantu. sekali lagi, tulisan bertajuk Menulis Sebagai Ibadah Unggulan ini sebenarnya untuk menyemangati diri saya untuk selalu menulis. Bantuan berupa saran, kritik sangat saya harapkan. Terimakasih

Pesantren Jurnalistik di Bogor

Pesantren jurnalistik merupakan wahana sharing/ menimba ilmu pengetahuan tentang jurnalistik yang dilakukan di saat bulan puasa. Pesantren jurnalistik ini sebenarnya mirip dengan pesantren kilat. Untuk di Bogor, Pemrakarsanya adalah Muh Afandi (nama lain dari Afandi Kartodihardjo) bersama Faturahman Safrudin Kanday.

Pertama kali dilakukan, di saat Ramadhan tahun 2006, dilaksanakan secara gratis. Acara dilakukan mulai pukul 13.00 WIB ditutup dengan buka bersama dan sholat magrib berjamaah. Pesertanya tidak lebih dari 15 orang, dan berasal dari berbagai kalangan (kebanyakan mahasiswa).
Di tahun pertama itu, ada kesan asal-asalan. Pesertanya, tiap hari berubah (maksudnya, yang hari pertama masuk-hari keduanya tidak. Begitu juga yang masuk di hari kedua, ternyata dia masuk lagi di hari keempat. Jadi, tiap hari orangnya ganti-ganti, akhirnya transfer/sharing pengetahuan soal jurnalistik dan masalah agama Islam tidak terselenggara secara maksimal.

Berangkat dari pengalaman di tahun pertama tersebut, di saat Ramadhan tahun 2007 lalu penyelenggaraannya diubah. Pesantren jurnalistik yang awalnya gratis dan ditutup dengan buka bersama (gratis-pula) kini harus bayar. Tidak tanggung-tanggung, biayanya langsung Rp 100 ribu untuk pelaksanaan 14 hari dan bersertifikat.

Tapi, ternyata yang ikut luar biasa banyaknya. Penyelenggara terpaksa menolak puluhan pendaftar. Lantai 5 Gedung Graha Pena Bogor tempat penyelenggaraan acara tersebut sampai tidak muat. Akhirnya, dibagi jadi dua kelas. Yang jurnalistik di lantai 5 dan yang design grafis di lantai 4 (ruang redaksi Harian Radar Bogor).

Pengisi acara tersebut, adalah para penanggungjawab halaman/ redaktur dari Radar Bogor. Dan, ada pula yang mantan redaktur seperti Taufik Saptoto Rohadi yang lebih dikenal dengan nama pena TASARO.
Mohon doa restu-nya, semoga kegiatan Pesantren Jurnalistik ini bias tetap berlangsung, lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saran dan kritik benar-benar kami harapkan.