Sabtu, 18 April 2009

Dewi Pandji dan ‘Jalan Panjang Bogor ‘

Dewi Pandji dan ‘Jalan Panjang Bogor ‘

Ingin tahu anak-anak Bogor jaman dahulu kalau lagi hang out? Di manakah mereka? Lantas, hiburan apa saja yang ada waktu itu? Tempat wisata kuliner saat itu? Pertanyaan-pertanya an yang membuat orang penasaran ini akan mendapatkan jawabannya di Buku Jalan Panjang Bogor yang ditulis oleh Dewi Pandji.

Mantan wartawati LKBN Antara ini telah memberikan jalan bagi warga Bogor masa kini yang ingin mengetahui Bogor di masa lalu. Lewat ‘jalan’ yang dibuat oleh Dewi ini cukup untuk melihat Bogor di masa lampau. Sebab, literatur-literatur tentang Bogor di masa lalu bisa diterjemahkan oleh Dewi dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Buku-buku lama yang kalau dibaca langsung terasa berat, bisa disajikan kembali oleh istri mantan Wakapolri ini dengan bahasa ringan dan mengalir lewat tulisan populernya. Apalagi juga dilengkapi dengan hasil investigasi dan reportase yang cukup dalam dengan beberapa tokoh Bogor yang saat ini masih ada.

Sesuai dengan judulnya, Jalan Panjang Bogor, menyajikan cukup lengkap Bogor tempo dulu, bernostalgia tentang Bogor yang pernah menjadi surganya pemerintah Belanda, lalu disandingkan dengan Bogor saat ini yang tentunya sudah jauh berbeda.

Beberapa kawasan seperti Sempur, Lawangsaketeng, Empang, Stasiun, Kebon Kembang, Jembatan Merah dan beberpa lokasi strategis lainnya dibahas, lengkap dengan foto hitam putih jaman dulu dan disandingkan dengan foto-foto kondisi mutakhir .

Hanya dengan membaca buku tersebut, Bogor tempo dulu seakan dekat. Salah satu contohnya adalah Kantor Polwil yang sekarang ini ada, ternyata dulunya adalah Hotel Du Chemin De Fer, orang Bogor tempo dulu menyebutnya Semin Defer yang dijadikan tempat persinggahan Gubernur Jenderal VOC yang senang sekali memakai perjalanan kereta api dari Batavia ke Bandung via Bogor. Di hotel Du Chemin yang sekarang menjadi kantor Polwil Bogor itulah sang Gubernur itu beristirahat.

Begitu juga dengan bulevardnya jaman Belanda, yakni Groote Post Weg yang sekarang berubah menjadi Jalan Juanda yang terbentang mulai dari depan Istana Bogor sampai ke depan kantor pos, disitu ada rumah sakit milik angkatan darat yang dulu terkenal dengan nama Millitere Hospital lalu menjadi rumah sakit Salak, ada kantor CPM, sekolah katolik Regina Pacis yang dulu bernama Klooster.

Tempat-tempat lawas yang masih dikenang itu juga diungkapkan lewat buku tersebut, seperti Rumah Sakit PMI yang dibangun pada 1931, Rumah Sakit Marzoeki Mahdi yang berdiri sejak 1882, Pesantren Al Falak, Binnenhof Hotel (Hotel Salak) sejak tahun 1856, Hotel Pasar Baru yang berdiri sejak 1850 yang kondisinya saat ini memprihatinkan.

Dalam buku setebal 161 halaman tersebut dungkapkan pula tentang kilas balik tempo dulu bahwa tatar Pasundan khususnya di sekitar Bogor yang disebut dengan Pakuan tidak hanya berupa lahan, tapi juga kenangan. ‘Lahannya’ dihidupkan kembali, tetapi kerajaannya takkan kembali. Inilah yang disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka.

Kedekatan batin budayawan terhadap Pajajaran ini akhirnya menimbulkan gagasan Pajajaran ngahiang atau Pajajaran tilem. Pakuan hanya ngahiang, Pajajaran heunteu sirna tapi tilem ngawungawun, kata orang-orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya.

Lewat bukunya, Dewi Pandji memberikan gambaran bahwa Bogor yang multi etnis adalah kota yang sangat terbuka dan sudah melaksanakan pembauran sejak dulu kala. Mulai dari pembauran Tinghoa Sunda, Arab Sunda, India Sunda.

Menariknya, buku tersebut juga menyajikan mimpi-mimpi orang Bogor saat ini tentang kehidupan di Bogor di masa depan. Dari situ dilihat tentang impian menjadikan Bogor yang nyaman, dengan angkutan monorel mengelilingi kota, ada danau di tengah kota dan ada pula sajian wisata unik dengan keliling Bogor dari udara. (affandi kartodihardjo)

Jumat, 10 April 2009

Jumat Ke 3 di Situ Gintung

Jumat Ke 3 di Situ Gintung

Subhanallah, Jumat 10 April 2009, aku bisa sholat jumat di Masjid yang tidak tergoyahkan saat Situ Gintung Jebol. Jumat itu adalah Jumat ke 3 paska jebolnya tanggul yang membawa korban tewas 99 orang dan meluluhlantakkan rumah-rumah di sekitarnya.

Saya juga sempat berpelukan dengan Miftah, yang saat jebolnya tanggul dia lagi adzan shubuh di Masjid Jabalurrahman. Ya Adzan subuh yang tidak tuntas. Sebab, sampai pada lafadz Hayya Allasholla....dan mau melanjutkan ke Hayya Allalffala... suara gemuruh dari arah tanggul terdengar, air pun mulai masuk dan dia berlari ke tempat yang lebih tinggi.

Begitu juga dengan Romli,yang biasa menjadi imam di masjid tersebut. Saat itu, dia lagi ambil wudlu untuk siap-siap sholat. Melihat teman-temannya lari ke atas, Romli ikut naik meninggalkan masjid yang mulai dikerumuni air.

Miftah, Romli dan dua rekannya yang lain yakni Wisnu dan Iskandar adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Jakarta, mereka memang tinggal di lantai 2 Masjid. Tiap hari, jika tidak ada kuliah mereka ngajar ngaji sekaligus ngurus masjid itu.

Semua pengurus masjid dan orang-orang yang biasa bangun pagi untuk sholat subuh di masjid itu selamat. Termasuk Masjid Jabalurrahman.

Di Jumat ketiga setelah tragedi tersebut, Masjid Jabalurrahman sudah terlihat rapi. Dinding, atap, pintu sudah dicat ulang oleh para relawan. Bahkan, buku-buku dan AlQuran yang dulunya hilang sudah diisi kembali oleh Cut Putri, dari Yayasan Gema Al Qur'an.

Saya sendiri bersama pengurus ICMI Orwil Bogor yakni Prof Dr Bintoro (Ketua ICMI Bogor), Abidin Said (salah seorang komisaris bank sariah), Rais Ahmad (mantan rektor UIKA yang juga besannya Pak AM Saeffudin), Suherlan ( Ketua Majelis Sinergi Kalam ) menyumbang ala kadarnya. Bentuknya sih uang tunai yang dikumpulkan dari pengurus ICMI.
Semuanya berharap agar korban Situ Gintung cepat pulih, dan bagi yang meninggal semoga arwahnya diterima disisinya.
(affandi)