Selasa, 29 September 2009

Catatan Reuni SMAN 1 Magetan Angkatan 1987

22 tahun merupakan waktu yang tidak sebentar, pantas saja jika teman-teman yang dulunya seksi-seksi dan langsing kini terlihat makin melar. Beberapa rekan wanita bahkan sudah tampak seperti ibu-ibu. Pertemuan mengharukan itu terjadi di Restoran Citra Mirasa Jalan Ahmad Yani Magetan. Di sanalah reuni SMA itu terjadi.
Saya sebagai salah satu alumni SMAN 1 Magetan lulusan tahun 1987 hadir di situ bersama tidak kurang dari 40 teman lama yang datang bersama keluarganya.Saya yang saat SMA adalah seorang yang biasa-biasa saja mendapat dua kali kesempatan maju ke depan karena masuk nominasi menjadi orang yang berat badanya nambah lebih dari 30 kilogram.
Meski berat badan nambah segitu tetap saja kalah dengan yang lain, sebab, Prapto teman sekelasku dulu yang sering dipanggil Sinyo ternyata badannya melar jauh lebih banyak. Akhirnya dialah yang jadi pemenang
Begitu juga saat maju yang kedua. Saat itu saya dianggap memiliki anak yang paling banyak. Maklum, anak saya sudah empat, dua laki-laki dan dua perempuan. Sama dengan babak pertama, saya ternyata kalah lagi dengan Agus Tutut Gudianto yang memiliki enam orang anak (hanya saja yang dua sudah meninggal) dan dia juga memiliki anak angkat.
Beberapa permainan yang semuanya fun juga digelar. Salah satunya adalah orang-orang yang wajahnya tidak berubah, meski sudah 22 tahun berlalu. Ada empat orang yang maju ke depan yakni Nana, Yuni, Kamto dan Agus Jadmiko. Dan seperti bisa ditebak, Jadmikolah yang menang karena wajah memang awet tua. “Saya ini bukannya awet muda, tapi dari dulu wajah saya ini adalah tua seperti ini,” katanya yang langsung disambut tawa oleh semua rekan yang hadir.
Acara yang digelar di kampung halaman itu sangat berkesan, karena saya ketemu lagi dengan Leo Herlambang yang waktu di kelas 1 SMP Negeri 1 duduk satu bangku, dan pernah satu kelas waktu di SMA Negeri 1, bahkan, dia pernah menjadi teman satu kamar selama 4,5 tahun waktu kuliah di Malang. Untuk itu, kepada para pemrakarsa reuni tersebut saya ucapkan banyak terima kasih. Khususnya kepada Ugiek Susilowati, Marsudi, Agus, Bambang, Nurul, Eko Siwi, Yuni, Ruli, Roseno, Bambang, Hari, Kamto, Alice, dan teman -teman yang lain.
Mudah-mudahan catatan sederhana ini bisa mengingatkan lagi kenangan lama. Semoga diberkahi. (affandi)

Sabtu, 18 April 2009

Dewi Pandji dan ‘Jalan Panjang Bogor ‘

Dewi Pandji dan ‘Jalan Panjang Bogor ‘

Ingin tahu anak-anak Bogor jaman dahulu kalau lagi hang out? Di manakah mereka? Lantas, hiburan apa saja yang ada waktu itu? Tempat wisata kuliner saat itu? Pertanyaan-pertanya an yang membuat orang penasaran ini akan mendapatkan jawabannya di Buku Jalan Panjang Bogor yang ditulis oleh Dewi Pandji.

Mantan wartawati LKBN Antara ini telah memberikan jalan bagi warga Bogor masa kini yang ingin mengetahui Bogor di masa lalu. Lewat ‘jalan’ yang dibuat oleh Dewi ini cukup untuk melihat Bogor di masa lampau. Sebab, literatur-literatur tentang Bogor di masa lalu bisa diterjemahkan oleh Dewi dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Buku-buku lama yang kalau dibaca langsung terasa berat, bisa disajikan kembali oleh istri mantan Wakapolri ini dengan bahasa ringan dan mengalir lewat tulisan populernya. Apalagi juga dilengkapi dengan hasil investigasi dan reportase yang cukup dalam dengan beberapa tokoh Bogor yang saat ini masih ada.

Sesuai dengan judulnya, Jalan Panjang Bogor, menyajikan cukup lengkap Bogor tempo dulu, bernostalgia tentang Bogor yang pernah menjadi surganya pemerintah Belanda, lalu disandingkan dengan Bogor saat ini yang tentunya sudah jauh berbeda.

Beberapa kawasan seperti Sempur, Lawangsaketeng, Empang, Stasiun, Kebon Kembang, Jembatan Merah dan beberpa lokasi strategis lainnya dibahas, lengkap dengan foto hitam putih jaman dulu dan disandingkan dengan foto-foto kondisi mutakhir .

Hanya dengan membaca buku tersebut, Bogor tempo dulu seakan dekat. Salah satu contohnya adalah Kantor Polwil yang sekarang ini ada, ternyata dulunya adalah Hotel Du Chemin De Fer, orang Bogor tempo dulu menyebutnya Semin Defer yang dijadikan tempat persinggahan Gubernur Jenderal VOC yang senang sekali memakai perjalanan kereta api dari Batavia ke Bandung via Bogor. Di hotel Du Chemin yang sekarang menjadi kantor Polwil Bogor itulah sang Gubernur itu beristirahat.

Begitu juga dengan bulevardnya jaman Belanda, yakni Groote Post Weg yang sekarang berubah menjadi Jalan Juanda yang terbentang mulai dari depan Istana Bogor sampai ke depan kantor pos, disitu ada rumah sakit milik angkatan darat yang dulu terkenal dengan nama Millitere Hospital lalu menjadi rumah sakit Salak, ada kantor CPM, sekolah katolik Regina Pacis yang dulu bernama Klooster.

Tempat-tempat lawas yang masih dikenang itu juga diungkapkan lewat buku tersebut, seperti Rumah Sakit PMI yang dibangun pada 1931, Rumah Sakit Marzoeki Mahdi yang berdiri sejak 1882, Pesantren Al Falak, Binnenhof Hotel (Hotel Salak) sejak tahun 1856, Hotel Pasar Baru yang berdiri sejak 1850 yang kondisinya saat ini memprihatinkan.

Dalam buku setebal 161 halaman tersebut dungkapkan pula tentang kilas balik tempo dulu bahwa tatar Pasundan khususnya di sekitar Bogor yang disebut dengan Pakuan tidak hanya berupa lahan, tapi juga kenangan. ‘Lahannya’ dihidupkan kembali, tetapi kerajaannya takkan kembali. Inilah yang disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka.

Kedekatan batin budayawan terhadap Pajajaran ini akhirnya menimbulkan gagasan Pajajaran ngahiang atau Pajajaran tilem. Pakuan hanya ngahiang, Pajajaran heunteu sirna tapi tilem ngawungawun, kata orang-orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya.

Lewat bukunya, Dewi Pandji memberikan gambaran bahwa Bogor yang multi etnis adalah kota yang sangat terbuka dan sudah melaksanakan pembauran sejak dulu kala. Mulai dari pembauran Tinghoa Sunda, Arab Sunda, India Sunda.

Menariknya, buku tersebut juga menyajikan mimpi-mimpi orang Bogor saat ini tentang kehidupan di Bogor di masa depan. Dari situ dilihat tentang impian menjadikan Bogor yang nyaman, dengan angkutan monorel mengelilingi kota, ada danau di tengah kota dan ada pula sajian wisata unik dengan keliling Bogor dari udara. (affandi kartodihardjo)

Jumat, 10 April 2009

Jumat Ke 3 di Situ Gintung

Jumat Ke 3 di Situ Gintung

Subhanallah, Jumat 10 April 2009, aku bisa sholat jumat di Masjid yang tidak tergoyahkan saat Situ Gintung Jebol. Jumat itu adalah Jumat ke 3 paska jebolnya tanggul yang membawa korban tewas 99 orang dan meluluhlantakkan rumah-rumah di sekitarnya.

Saya juga sempat berpelukan dengan Miftah, yang saat jebolnya tanggul dia lagi adzan shubuh di Masjid Jabalurrahman. Ya Adzan subuh yang tidak tuntas. Sebab, sampai pada lafadz Hayya Allasholla....dan mau melanjutkan ke Hayya Allalffala... suara gemuruh dari arah tanggul terdengar, air pun mulai masuk dan dia berlari ke tempat yang lebih tinggi.

Begitu juga dengan Romli,yang biasa menjadi imam di masjid tersebut. Saat itu, dia lagi ambil wudlu untuk siap-siap sholat. Melihat teman-temannya lari ke atas, Romli ikut naik meninggalkan masjid yang mulai dikerumuni air.

Miftah, Romli dan dua rekannya yang lain yakni Wisnu dan Iskandar adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Jakarta, mereka memang tinggal di lantai 2 Masjid. Tiap hari, jika tidak ada kuliah mereka ngajar ngaji sekaligus ngurus masjid itu.

Semua pengurus masjid dan orang-orang yang biasa bangun pagi untuk sholat subuh di masjid itu selamat. Termasuk Masjid Jabalurrahman.

Di Jumat ketiga setelah tragedi tersebut, Masjid Jabalurrahman sudah terlihat rapi. Dinding, atap, pintu sudah dicat ulang oleh para relawan. Bahkan, buku-buku dan AlQuran yang dulunya hilang sudah diisi kembali oleh Cut Putri, dari Yayasan Gema Al Qur'an.

Saya sendiri bersama pengurus ICMI Orwil Bogor yakni Prof Dr Bintoro (Ketua ICMI Bogor), Abidin Said (salah seorang komisaris bank sariah), Rais Ahmad (mantan rektor UIKA yang juga besannya Pak AM Saeffudin), Suherlan ( Ketua Majelis Sinergi Kalam ) menyumbang ala kadarnya. Bentuknya sih uang tunai yang dikumpulkan dari pengurus ICMI.
Semuanya berharap agar korban Situ Gintung cepat pulih, dan bagi yang meninggal semoga arwahnya diterima disisinya.
(affandi)

Selasa, 24 Maret 2009

Kolaborasikan Tulisan dan Musik jadi Islamic Musik Book

Sebuah mukjizat sholawat. Itulah judul buku terbaru yang ditulis teman saya Indrya R Dani. Meski bukunya terbilang tipis, tapi dia berhasil mengkolaborasikan tulisan dan musik menjadi Islamic Musik Book. Berikut ini adalah tulisan saya yang telah dimuat Harian Radar Bogor 22 Maret 2009 lalu.

Indrya R Dani memberikan warna baru dunia tulis menulis di tanah air. Penulis yang kini tinggal di Kawasan Indraprasta 2 Kota Bogor ini berhasil menggabungkan tulisan di buku dengan musik dan lagu. Lewat bukunya ‘Mukjizat Shalawat’, Indrya menggabungkan antara naskah, musik dan lagu. Dia pula yang menulis scrip naskah di CD. Bahkan sampainya nyanyiannya segala.


GABUNGAN dari semua talenta yang dimiliki Indrya memang terlihat pada penerbitan buku terbarunya tersebut. Dalam buku Mukjizat Sholawat yang ditulis bersama Habib Abdullah Assegaf LC MA ini, Indrya menyusun secara terencana antara tulisan, musik, lagu dan tulisan scrip yang dikemas dalam buku berbonus CD.

Buku Mukjizat Sholawat yang diterbitkan oleh Qultum Media ini merupakan buku kedua yang ditulisnya. Buku pertamanya, yakni ‘Panduan Pintar Haji & Umroh’ yang diterbitkan oleh Qultum Media sudah cetak ulang. Bahkan, saat ini sedang proses copyright oleh Penerbit Malaysia. Beberapa judul buku lainnya yang kini sedang dalam proses adalah “ Fashion Journeys: Travel In Style For Muslimah “ di penerbit Gramedia, dan buku berjudul “ The Young CEO Stories “ dan “ Ragam Abaya “, saat ini sedang proses diterbitkan oleh SAS Press

Penulis yang satu ini memang agak beda dengan penulis umumnya. Dia suka traveling, sehingga ide dan waktu menulisnya sering muncul saat melakukan perjalanan. “Waktu bepergian ke luar kota atau ke luar negeri, di pesawat aku sering habiskan dengan menulis,” katanya.

Bahkan, saat menulis di rumah pun, ketika ide lagi enggak dapat, Indrya pergi sendirian mengendarai mobil Nisan Terano ke tol Jagorawi, setelah menyusuri tol dan melihat pemandangan hijau di sekitar tol, begitu masuk Jakarta, dia balik lagi ke Bogor. Sampai di rumah langsung duduk di depan komputer. Kalau sudah begitu, bisa berjam-jam waktunya, bahkan sampai lupa makan apalagi tidur.

Indrya mengaku kalau fokus menulis setelah pulang haji. Saat berhaji, dia merasa takjub bertemu dengan jutaan muslim dari berbagai negara. Saat itu dia berkeinginan menjalin hubungan dengan sesama muslim antarnegara tersebut. Jalan satu-satunya ya lewat buku. Agar mudah dipahami dan menambah daya tarik pembaca antarnegara, Indrya menyisipkan unsur musik dan lagu dalam karyanya.. “Lewat islamic music book inilah, saya berharap dapat bersilaturahim dengan sesama muslim di mana pun, mengantar untaian lirik dan nada sebagai penyambung dan pengambaran akan keindahan seni, budaya dan masyarakat Islam,” katanya.

Agar lagu dan liriknya bisa diterima semua kalangan, Indrya terus belajar,belajar, dan belajar. Dia gemar membaca buku terutama buku-buku sejarah masa lalu. Dia juga melihat, mendengar, mempelajari bahasa masyarakat Islam, bahkan mencari dan mempelajari manusript aransemen seniman Islam terdahulu seperti ZIRYAb & FARABI, mencari dan mempelajari syair puisi klasik terutama SUFI.

Selain belajar dia juga bertanya pada ustad, ustazah, ulama, sastrawan muslim dan melakukan berbagai kegiatan untuk memperkaya bathin dan wawasan. Setelah itu baru berkolaborasi dan bersinergi dengan para aranger, musisi untuk memperindah karya bernuansa Islam.

Contoh kolaborasi Indrya dengan arager dan musisi ini bisa dilihat dalam buku Mukjizat Sholawat yang ditulisnya. Dalam buku setebal 115 halaman tersebut diberi pengantar oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin M Sc, Direktur Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Dalam buku tersebut diungkapkan bagaimana dahsyatnya shalawat serta berbagai contoh shalawat nabi dengan berbagai macam dalil yang komplet.

Lewat karyanya tersebut, Indrya yang dikenal juga sebagai icon model busana Pilgrim dan beberapa iklan layanan masyarakat bersama Ustad Subki Al Bhuquri serta presenter TV Program Islami seperti: Teletilawah, Mutiara Jum’at, Magsaba, JUITA di TVRI tersebut telah membuktikan bahwa buku bisa dikolaborasikan dengan musik dan lagu. (affandi kartodihardjo).

Minggu, 25 Januari 2009

Surat untuk Tuan Obama

Pidato Obama mengecewakan? Mengecewakan Siapa? Kecewa itu batu ujinya apa? Tidak jelas khan ukurannya? yang pasti-pasti aja lah!

Lewat blog ini saya ingin menyarankan kepada Tuan Obama. (Tidak tanggung-tanggung, yang saya sarankan adalah presiden Amerika, padahal saya pernah memberi saran ke kepala desa di dekat rumah saya saja tidak digubris.)
Kebetulan dia ngerti bahasa Indonesia karena dia dulu pernah tinggal di Menteng, eh bukan Menteng, tapi Menteng Dalem. Sekali lagi, Menteng Dalem (below Menteng). Dan, jangan salah, orang Amerika tahu isi tulisan ini. Sebab, dari sisi IT mereka jagonya, apalagi yang menyangkut Amerika yang mengaku sebagai polisi dunia.

Tuan Obama!
Anda adalah orang baru di suatu sistem yang sudah terbentuk ratusan tahun. Meski Anda menjadi orang yang menentukan dalam jalannya sistem tersebut, tapi, tentu tidak bisa mengubahnya dengan mudah. Coba saja kalau berani! Coba saja menghentikan roda mobil yang telah berputar kencang pakai tangan Anda. Pasti tangan Anda kalah.

Pidato Anda 20 Januari lalu memang berusaha merangkul semua kalangan, itulah langkah cerdas Anda. Tunggu saja putaran roda mobil sampai pada kecepatan tertentu yang bisa Anda kendalikan. Lalu, masukkan titipan penyelamatan nyawa orang-orang yang tidak berdosa di daerah Gaza atau daerah lainnya. Tapi, tentu dengan cara yang hati-hati. Sebab, sistem Amerika sudah terbiasa budek terhadap kepentingan orang yang tidak berkaitan dengan kepentingannya.

Ini saran singkat saya. Kalau sempat ke Indonesia mampir ke Bogor ya. Presiden Bush juga sempat main ke Bogor, tapi sepulang dari Istana Bogor, nasibnya sial terus.
He he he .....
Terima Kasih
Affandi Kartodihardjo
http://berkahmenuli s.blogspot. com